Beranda | Artikel
Penetapan Risalah dalam Surat al-Fatihah
Selasa, 25 September 2012

Surat al-Fatihah mengandung penetapan risalah atau kenabian dari berbagai sisi pendalilan. Ibnul Qoyyim rahimahullah telah menjelaskan hal itu dengan panjang lebar. Berikut ini penjelasan beliau yang kami terjemahkan secara bebas dengan sedikit peringkasan dan penambahan:

Sisi Pertama: Keberadaan Allah sebagai Rabb alam semesta

Apabila Allah adalah Rabb alam semesta, tentu tidak layak apabila Allah meninggalkan hamba-hamba-Nya dalam keadaan sia-sia. Tidak mungkin Allah tidak memperkenalkan kepada mereka hal-hal yang mendatangkan manfaat dan madharat untuk mereka dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akherat. Apabila hal itu terjadi tentu saja itu merupakan sebuah kenyataan yang meruntuhkan rububiyah Allah serta menyandarkan kepada-Nya sesuatu yang tidak pantas. Orang yang menyandarkan hal itu kepada Allah berarti tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya.

Sisi Kedua: Nama ‘Allah’ memiliki arti yang disembah dan diibadahi

Apabila Allah adalah yang disembah, maka tidak ada jalan untuk bisa mengetahui tata-cara beribadah kepada-Nya kecuali melalui perantara dakwah para rasul-Nya.

Sisi Ketiga: Nama ‘ar-Rahman’ yang berarti Yang Maha Pengasih

Apabila Allah adalah ar-Rahman/Yang Maha Pengasih maka tentu saja dengan kasih sayang-Nya tidak mungkin Allah menelantarkan hamba-hamba-Nya dan tidak menunjukkan kepada mereka apa saja yang bisa membantu mereka dalam rangka mencapai puncak kesempurnaan hidup mereka. Siapa pun yang merenungkan dengan baik kandungan nama ar-Rahman niscaya dia akan berkesimpulan bahwa sesungguhnya sifat rahmat Allah memiliki konsekuensi diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Dari sini pun bisa disimpulkan bahwa perhatian Allah terhadap hal itu tentu jauh lebih besar daripada perhatian-Nya untuk menurunkan hujan, menumbuhkan tanam-tanaman, ataupun mengeluarkan biji-bijian. Konsekuensi rahmat Allah yang menjadi penyebab hidupnya hati jelas lebih besar daripada hal-hal yang menyebabkan hidupnya badan.

Sisi Keempat: Penyebutan hari pembalasan

Hari pembalasan adalah hari dimana hamba-hamba dibalas atas amal perbuatan mereka selama hidup di dunia, baik ataupun buruk. Sementara tidak mungkin bagi Allah apabila menghukum suatu kaum tanpa ada penegakan hujjah terlebih dahulu kepada mereka. Padahal, hujjah itu hanya bisa tegak dengan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Dengan penegakan hujjah itulah orang yang berbuat baik berhak menerima pahala dan orang yang durhaka berhak untuk disiksa. Dengan sebab itulah orang-orang yang taat dimasukkan ke dalam surga, begitu pula orang-orang yang durhaka dicampakkan ke dalam neraka.

Sisi Kelima: Dari ayat ‘Iyyaka na’budu’

Ayat ini bermakna ibadah hanya ditujukan kepada Allah. Sementara Allah hanya disembah dengan amalan-amalan yang dicintai dan diridhai-Nya. Beribadah kepada Allah dengan bersyukur kepada-Nya, cinta dan takut kepada-Nya memang sesuatu yang telah dikenal secara fitrah. Meskipun demikian, tata cara beribadah kepada-Nya secara lebih rinci tidak mungkin bisa diketahui umat manusia kecuali melalui perantara dakwah para rasul-Nya. Dengan demikian, diutusnya para rasul merupakan hakikat yang secara pasti telah diterima oleh akal, karena mustahil alam semesta ini ada tanpanya. Sebagaimana halnya alam ini mustahil ada tanpa pencipta. Itu artinya barangsiapa yang mengingkari rasul maka sebenarnya dia telah mengingkari yang mengutus mereka. Oleh sebab itu Allah menilai tindakan mengingkari rasul sebagai bentuk kekafiran kepada-Nya.

Sisi Keenam: Dari ayat ‘Ihdinash shirathal mustaqim’

Ayat ini bermakna doa memohon petunjuk menuju jalan yang lurus. Petunjuk atau hidayah itu mencakup penunjukan dan keterangan, kemudian setelah itu pun masih diperlukan hidayah berupa taufik dan ilham. Padahal, tidak ada jalan untuk bisa menerangkan dan menunjuki umat manusia melainkan dengan perantara dakwah para rasul.

Sisi Ketujuh: Dengan memahami hakikat shirathal mustaqim itu sendiri

Suatu jalan tidaklah disebut sebagai shirath kecuali apabila terkumpul padanya lima perkara: istiqomah/lurus, mengantarkan kepada tujuan, jarak yang dekat, tempat yang luas bagi orang yang berjalan di atasnya, dan kejelasan bahwa jalan itu benar-benar membawa kepada tujuan. Sementara itu semua tidak bisa terpenuhi tanpa adanya peran para rasul.

Sisi Kedelapan: Penyebutan golongan orang yang diberikan nikmat

Allah menyebut jalan yang lurus itu dengan jalan orang-orang yang diberikan nikmat kepada mereka. Allah juga memisahkan golongan ini dengan kelompok orang yang dimurkai dan yang tersesat. Berdasarkan ayat ini, umat manusia bisa dibagi menjadi tiga kelompok: Pertama, adalah orang yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya. Kedua, orang yang mengetahui kebenaran namun tidak mengikutinya. Ketiga, orang yang tidak mengetahui kebenaran. Kelompok pertama adalah orang yang diberikan nikmat. Kelompok kedua adalah orang yang dimurkai. Adapun kelompok ketiga adalah orang yang sesat. Padahal, tidak mungkin membagi manusia ke dalam tiga kelompok tersebut jika tidak ada pengutusan rasul. Karena pembagian ini adalah konsekuensi logis dari diutusnya para rasul.

(lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 7-12)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Risalah adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi hamba. Mereka benar-benar membutuhkannya. Kebutuhan mereka terhadapnya jauh di atas segala jenis kebutuhan. Risalah adalah ruh, cahaya, dan kehidupan alam semesta. Maka kebaikan seperti apa yang ada pada alam tanpa ruh, tanpa cahaya, dan tanpa kehidupan?” (lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wa al-Jama’ah, hal. 78 karya Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, ketika menyeru kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Allah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu dengan-Nya.” (QS. al-Anfal: 24)

Wallahu a’lam bish shawaab.


Artikel asli: http://abumushlih.com/penetapan-risalah-dalam-surat-al-fatihah.html/